Peran Kaum Muda terhadap RADIKALISME
Tulisan ini saya buat
untuk mengikuti serangkaian acara lomba menulis dies natalis PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) Pusat yang
ke 69th
Indonesia adalah negara yang terdiri
dari banyak pulau, suku, agama, ras, dan golongan. Dengan kata lain, Indonesia
adalah negara multikultural. Setiap golongan masyarakat memiliki latar
belakang, sudut pandang, dan pemikiran yang berbeda-beda. Hal inilah yang
menyebabkan pertikaian, seperti munculnya paham radikalisme.
Kata
radikalisme ditinjau dari segi terminologis berasal dari kata dasar radix yang
artinya akar (pohon). Bahkan anak-anak sekolah menengah lanjutan pun sudah
mengetahuinya dalam pelajaran biologi. Makna kata tersebut, dapat diperluas
kembali, berarti pegangan yang kuat, keyakinan, pencipta perdamaian dan
ketenteraman, dan makna-makna lainnya. Kata ini dapatdikembangkan menjadi kata
radikal, yang berarti lebih adjektif. Hingga dapat dipahami secara kilat, bahwa orang yang
berpikir radikal pasti memiliki pemahaman secara lebih detail dan mendalam,
layaknya akar tadi, serta keteguhan dalam mempertahankan kepercayaannya. Memang
terkesan tidak umum, hal inilah yang menimbulkan
kesan menyimpang di masyarakat. Setelah itu, penambahan sufiks –isme sendirri
memberikan makna tentang pandangan hidup (paradigma), sebuah faham, dan
keyakinan atau ajaran. Penggunaannya juga sering disambungkan dengan suatu
aliran atau kepercayaan tertentu.
Namun
demikian, dalam perkembangannya pemahaman terhadap radikalisme itu sendiri
mengalami pemelencengan makna, karena minimnya sudut pandang yang digunakan,
masyarakat umum hanya menyoroti apa yang kelompok-kelompok radikal lakukan
(dalam hal ini praktek kekerasan), dan tidak pernah berusaha mencari apa yang
sebenarnya mereka cari (perbaikan). Hal serupapun dilakukan oleh pihak
pemerintah, hingga praktis pendiskriminasian terhadap paham yang satu ini tak
dapat dielakkan.
Gerakan Radikalisme kebanyakan muncul
dalam kalangan agama. Di beberapa negara muslim, gerakan-gerakan radikal
keagamaan justru lahir pada saat proses demokratisasi sedang di gelar.
Gerakan-gerakan agama radikal di Indonesia pun juga lahir di saat proses
demokratisasi sedang berjalan. Otonomi daerah sebagai refleksi dari tuntutan
demokrasi misalnya, justru di tandai dengan bangkitnya literlisme-radikalisme
agama seperti kehendak untuk menerapkan “syariat islam”.
Radikalisme sendiri merupakan paham
pemikiran sekelompok masyarakat yang menginginkan pembaharuan untuk hidup lebih
baik namun dengan cara yang tidak benar karena dengan menghalalkan segala cara.
Makin banyak gerakan yang muncul karena persoalan agama, politik, maupun yang
lainnya. Sebagian besar bentuk radikalisme adalah perbuatan yang negatif untuk
umum. Demokrasi yang seharusnya menjadikan tatanan masyarakat semakin cair,
egaliter dan inklusif, tapi yang terjadi justru sebaliknya.
Radikalisme
disebagian masyarakat bisa muncul karena banyak hal. Salah satunya adalah
karena lemahnya pemahaman agama. Radikalisme ini merupakan sasaran yang
tepat bagi orang-orang yang bertujuan
menyelewengkan ajaran agama atau mengajarkan paham-paham keagamaan yang sesat. Untuk
sebagian masyarakat menganggap radikalisme sebagai hal yang positif karena
kepentingan mereka. Seperti pelaku terorisme yang menganggap perbuatannya
merupakan hal yang positif karena dia merasa berjihad untuk agama yang
dianutnya.
Semua gerakan yang dilakukan oleh
orang-orang radikalisme sangat tidak sesuai dengan Pancasila. Banyak gerakan
radikalisme yang mengatasnamakan agama. Tentu dalam sila pertama pancasila yang
berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, di dalam sila ini tidak mengartikan tentang
bagaimana gerakan radikalisme di sebarkan, tetapi sila ini memberi tahu bahwa
semua masyarakat yang berada di Indonesia berhak memeluk agamanya sendiri-sendiri.
Dampak negatif dari gerakan radikalisme itu sendiri adalah banyaknya
pemberontakan yang mengatasnamakan agama, contohnya saja terorisme yang
melakukan pemberontakan dengan cara membunuh atau melakukan bom bunuh diri.
Menurut Nusron, saat ini
generasi muda banyak yang mulai diracuni paham keagamaan radikal, di mana
mereka berkeyakinan bahwa membunuh adalah bagian dari jihad. Mereka juga sangat
merusak kebhinekaan bangsa ini karena begitu mudah mengafirkan orang-orang yang
tidak sepaham atau sealiran.
"Sekarang Presiden
Jokowi terus menggencarkan upaya deradikalisasi, Menko Polhumkam Pak Luhut juga
terus menggalang kelompok masyarakat agar berperan aktif memberikan informasi
ancaman dan dicurigai bisa mengarah tindakan teror," kata mantan Ketua
Umum GP Ansor ini.(
Liputan6.com/Taufiqurrahman) Sabtu
(5/3/2016)
Salah satu contoh
tindakan radikalisme yaitu peristiwa bom bali.
Dalam konteks pemboman yang terjadi pada 17 Juli
2009 lalu, jelas memang benar telah terjadi tindakan terorisme. Adanya
kelompok-kelompok radikal yang tidak puas atas kondisi sosial, ekonomi dan
politik di negara ini bisa menjadi penyebab terjadinya terorisme tersebut.
Terlebih terjadi pada saat berakhirnya pemilu 2009 yang ditengarai banyak
terjadi kecurangan dan menghasilkan pemenang yang dituduh sebagai pasangan
pro-Barat (neoliberal), yakni pasangan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan
Boediono.
Di awal tahun 2016 ini, kita dihebohkan dengan ledakan bom
di kawasan Thamrin, Jakarta. Peristiwa ini menambah rangkaian peristiwa
terorisme di negara kita. Masih sangat hangat diingatan kita, Kamis 14 Januari
lalu peristiwa tersebut terjadi. Berawal dari sebuah ledakan di depan pos
polisi Sarinah dan gerai kopi Starbuck. Sebanyak enam ledakan terjadi dalam
waktu yang begitu singkat dari pukul 10.40 WIB sampai 11.00 WIB. beberapa jam
setelah kejadian muncul rilis dari Islamic State of Irak and Syiria
(ISIS), kita tahu kelompok ini merupakan kelompok Islam garis keras atau
radikal yang sering melakukan tindakan kekerasan mengatasnamakan agama, bahwa
mereka bertanggung jawab atas ledakan bom di Jakarta.
Sebagai pemuda sepantasnya kita perlu untuk menangkal adanya
kekerasan agama atau terorisme. Pertama, memberikan pemahaman dan penjelasan kepada masyarakat
khususnya pemuda tentang kedamaian, tidak ada ajaran agama yang menganjurkan
umatnya untuk berbuat kekerasan dan teror.
Semua agama mengajarkan
umatnnya untuk selalu berbuat baik kepada sesama dan saling menjaga rasa aman.
Agama apapun sangatlah menjunjung tinggi nilai kedamaian dan menghormati antar
umat beragama.
Kedua, menjaga toleransi.
Toleransi antar umat beragama merupakan hal sangat penting untuk kita jaga dan
lestarikan. Dengan adanya toleransi ini pastinya akan tercipta kehidupan yang
damai dan harmonis tanpa adanya rasa permusuhan dan prasangka buruk. Ketiga,
mengedepankan dialog antar agama. Dialog bukan debat. Dialog mengedepankan
persamaan, bahwa semua agama mengajak pada kebaikan, sedangkan debat
mengedepankan perbedaan. Kalau perbedaan yang dibicarakan maka tidak akan
pernah menemukan titik temu sampai gontok-gontokkan sekalipun. Dengan adanya
dialog antar agama kita akan semakin mengerti makna pluralitas. Sehingga
menambah wawasan keilmuan kita dalam meyikapi setiap persoalan hubungan antar
umat beragama.
“Masuklah organisasi yang bisa
mencerdaskan dan memperluas jaringan kita. Jangan masuk organisasi yang tidak
jelas karena banyak sekali organisasi-organisasi tanpa nama,” kata Tantowi Yahya, politisi Partai Golkar
Tantowi mengingatkan kembali, tugas generasi muda
adalah memperkuat iman, memperbanyak ilmu pengetahuan, di dalam sekolah maupun
diluar sekolah.
sumber
: tribunnews
Terorisme
tidak selalu menentang globalisasi, namun, terorisme juga memanfaatkan
globalisasi untuk kepentingannya. Jaringan terorisme memanfaatkan teknologi dan
komunikasi untuk menyebarkan ideologinya. Penyampaian pemberitaan dan pesan
dengan cepat terkirim ke masyarakat global maupun kelompoknya melalui media
massa, baik media cetak maupun elektronika. Tujuan dari kelompok teroris dalam
pemanfaatan media massa antara lain penyebaran pesan atas rasa takut, ancaman,
ideologi, perekrutan dan mengembangkan sel-sel terornya secara luas.
Negara
Indonesia masih rentan terhadap gerakan radikalisme dan terorisme, walaupun
banyak pelaku aksi radikal dan terorisme tertangkap. Karena masih banyak
jaringan-jaringan radikalisme dan terorisme yang masih eksis tetap hidup di
Indonesia, terlebih dengan kemunculan kelompok militant Islamic State of Iraq
(ISIS), karena itulah kaum muda sebagai generasi yang paling rentan harus
dilindungi dari upaya propaganda radikalisme dan terorisme tersebut khususnya
propaganda melalui media yang sangat sulit untuk dibendung.
Masyarakat
khususnya generasi muda sebagai generasi penerus bangsa harus di lindungi dari
paham radikalisme. Upaya pencegahan untuk mereka jangan setengah-setengah. Kita
harus mengoptimalkan gerakan radikalisme mulai dari lingkungan rumah, sekolah
dan pergaulan mereka.
Seringkali pemuda menjadi sasaran utama dalam
perekrutan anggota-angota teroris, bagaimana tidak, setiap kali ada penangkapan
anggota teroris.
Pada umumnya Sasaran utamanya adalah mereka kaum pemuda yang dinilai masih labil dan mudah terprovokasi. Lemahnya semangat kebangsaan, masuknya budaya asing, pergaulan bebas, aksi premanisme, serta pengaruh lingkungan yang negatif merupakan beberapa faktor pendukung yang membuat pemuda dengan mudah dipengaruhi dengan berbagai paham-paham radikal yang tanpa disadari akhirnya membawa pemuda itu sendiri ke dalam jaringan terorisme.
Mengutip dari beberapa sumber, mengenai beberapa faktor penyebab radikalisme yakni pertama, faktor pemikiran menentang agama, mereka menentang terhadap keadaan alam yang tidak dapat ditolerir lagi, seakan ala mini tidak mendapat keberkahan lagi dari pencipta, penuh dengan penyimpangan. Kedua, faktor ekonomi, kemiskinan, pengangguran dan problematika ekonomi yang dapat merubah sifat seseorang yang baik menjadi orang yang kejam. Mereka juga berasumsi bahwa perputaran ekonomi hanya dirasakan oleh yang kaya saja. Sehingga mereka tidak segan-segan melakukan tindakan yang memicu radikalisme. Ketiga, faktor politik, memiliki pemimpin yang adil, memihak pada rakyat merupakan impian semua masyrakat tetapi apabila sebaliknya, hal itulah yang memicu kelompok-kelompok tertentu saling menghancurkan satu sama lain. Keempat, faktor psikologis, pengalaman seseorang yang mengalami kepahitan dalam hidupnya seperti kegagalan dalam karir, permasalahan dalam keluarga, kebencian dan dendam. Hal tersebut dapat mendorong seseorang untuk berbuat penyimpangan dan anarkis. Faktor kelima, faktor pendidikan, radikalisme dapat terjadi dikarenakan melalui pendidikan yang salah terutama pendidikan agama yang sangat sensitive. Aksi radikalisme muncul dikarenakan juga mereka tidak dapat menerima perbedaan. Mereka anggap perbedaan adalah ancaman yang harus dimusnahkan.
Pada umumnya Sasaran utamanya adalah mereka kaum pemuda yang dinilai masih labil dan mudah terprovokasi. Lemahnya semangat kebangsaan, masuknya budaya asing, pergaulan bebas, aksi premanisme, serta pengaruh lingkungan yang negatif merupakan beberapa faktor pendukung yang membuat pemuda dengan mudah dipengaruhi dengan berbagai paham-paham radikal yang tanpa disadari akhirnya membawa pemuda itu sendiri ke dalam jaringan terorisme.
Mengutip dari beberapa sumber, mengenai beberapa faktor penyebab radikalisme yakni pertama, faktor pemikiran menentang agama, mereka menentang terhadap keadaan alam yang tidak dapat ditolerir lagi, seakan ala mini tidak mendapat keberkahan lagi dari pencipta, penuh dengan penyimpangan. Kedua, faktor ekonomi, kemiskinan, pengangguran dan problematika ekonomi yang dapat merubah sifat seseorang yang baik menjadi orang yang kejam. Mereka juga berasumsi bahwa perputaran ekonomi hanya dirasakan oleh yang kaya saja. Sehingga mereka tidak segan-segan melakukan tindakan yang memicu radikalisme. Ketiga, faktor politik, memiliki pemimpin yang adil, memihak pada rakyat merupakan impian semua masyrakat tetapi apabila sebaliknya, hal itulah yang memicu kelompok-kelompok tertentu saling menghancurkan satu sama lain. Keempat, faktor psikologis, pengalaman seseorang yang mengalami kepahitan dalam hidupnya seperti kegagalan dalam karir, permasalahan dalam keluarga, kebencian dan dendam. Hal tersebut dapat mendorong seseorang untuk berbuat penyimpangan dan anarkis. Faktor kelima, faktor pendidikan, radikalisme dapat terjadi dikarenakan melalui pendidikan yang salah terutama pendidikan agama yang sangat sensitive. Aksi radikalisme muncul dikarenakan juga mereka tidak dapat menerima perbedaan. Mereka anggap perbedaan adalah ancaman yang harus dimusnahkan.
Fenomena meningkatnya tindakan
radikalisme dikarenakan dangkalnya pemahaman terhadap agama. Karena itu, upaya
preventif yang tepat saat ini adalah dengan merevitalisasi pendidikan agama dan
akhlak disekolah, keluarga, maupun masyarakat. Pendidikan dan pelajaran agama
yang dijalankan saat ini hanya bersifat formalitas, materi dan tidak mendorong
pembentukan moral dan karakter siswa. Selain itu alokasi jam pelajaran agama
dan akhlak ditingkatkan dari sisi kuantitas dan kualitasnya. Selain itu, materi
pelajaran non-agama atau umum seharusnya juga diarahkan pada penguatan akhlak
dan karakter siswa sehingga tidak terlepas dari esensi pendidikan.
Komentar