Wanita adalah penyalur
dan Pembina kehidupan dan keberadaannya berpengaruh besar terhadap perkembangan
anak-anak mereka. Cinta kasih sayang ibu kepada anaknya merupakan paten dan
model dasar dari segala bentuk hubungan manusiawi (Ashley Montewu, 1972).
Wanita, selain memiliki keunggulan biologis alamiah yang dibawa sejak lahir
juga memiliki keunggulan yang secara social tidak dipunyai kaum pria. Persepsi
keliru tentang wanita, seperti wanita hanya berfungsi sebagai penghias ranjang,
juru masak, teman iseng, “kebun tempat menyemaikan bibit keturunan”, manusia
kelas dua dan seterusnya benar-benar tidak relevan lagi di abad modern ini.
Wanita dalam banyak hal telah sama dengan pria dan dalam banyak hal lain memang
tidak layak disamakan.
Kiprah wanita di abad reormasi saat ini amat menonjol dan
teknologi informasi modern yang berkembang pesat saat ini seolah-olah tidak
dapat dipisahkan dari keberadaan wanita. Di bidang usaha, bisnis dan manajerial
telah terjadi pergeseran drastis, di mana telah banyak posisi yang tadinya
didominasi oleh kaum pria, kini diduduki oleh kaum wanita, tidak hanya di
Negara-negara sangat maju, melainkan juga di Negara-negara industry baru
(NICs), bahkan di Negara-negara berkembang, seperti terungkap dalam buku
Megatrends 2000, karya John Naisbitt dan Patricia Aburdene (1990). Di belahan
buni lain yang sedang dilanda peperangan, gejolak politik Negara yang
mengakibatkan eksodus manusia perahu yang sebagian besar adalah wanita, di
daerah wisata seks dan lokalisasi, banyak wanita hanya dijadikan objek kepuasan
semu oleh kaum pria, wadah menyalurkan selera rendah, satu kondisi yang amat
kontras. Dibelahan bumi sperti dilukiskan ini, nasib dan harga diri wanita
benar-benar mengalami kemerosotan, akibatnya panti rehabilitasi WTS makin
tinggi tingkat huniannya.
Beranjak dari
adanya tanda-tanda kemerosotan nasib dan harga diri kaum wanita, pada tanggal
14 sampai 30 Juli 1990 diadakan Konferensi Sedunia II Desa Warsa PBB untuk
wanita. Beberapa kemerosotan atau semakin menurunnya kesejahteraan wanita,
menurut Rin Purwani Budi (1980) adalah ssebagai berikut :
a.
Peningkatan pendidikan sebagian wanita
kelas menengah tidak diimbangi dengan tingkat pekerjaan yang sesuai.
b.
Peningkatan jumlah buta huruf dikalangan
wanita terutama di Negara-negara berkembang yang mencapai dua kali jumlah pria
yang buta huruf dalam lima tahun terakhir ini.
c.
Meskipun perbedaan upah antaraan wanita
makin kecil namun penerapan tekonologi maju telah mengurangi kesempatan kerja
bagi wanita-wanita di Negara-negara berkembang dan merusak kesehatan.
d.
Krisis ekonomi dan politik dunia yang
merupakan sumber pengangguran dan menyebabkan menurunnya jasa-jasa pelayanan
dan jasa-jasa masyarakat lebih berpengaruh terhadap wanita dari pada pria.
e.
Disamping itu sebgian pengungsi akibat
perang adalah wanita.
Memasuki
tahun 1990-an, kaum waanita telah menunjukkan dominasi kuat, terutama disektor
informasi/jasa yang jumlahnya lebih dari 80%. Profesi sebagai eksekutif,
pengacara, dokter, insinyur, dan peneliti tahun 1970-an hanya dimiliki oleh
sebagian kecil wanita. Sejak tahun 1972, menurut John Naisbitt dan Patricia
Aburdene (1990), persentasi wanita menjadi dokter berlipat dua, sedangkan
jumlah wanita yang terjun ke sector kepengacaraan dan arsitek bertambah hamper
lima kali lipat. Wanita menguasai hamper 39,9% dari 14,2 juta pekerja
eksekutif, administrative dan manajemen.
Di sisi lain, persepsi umum mengenai
posisi, harga diri dan mobilitas wanita di Indonesia, terutama dalam banyak
bidang profesi cenderung merendahkan martabat wanita. Beberapa contoh
diantaranya :
a. Wanita
karir yang dapat menapak sampai ke posisi manajemen puncak lebih dilihat
sebagai produk “fasilitas interaksi pribadi” daripada karena prestasi.
b. Proesi
kesekretaariatan yang dijabat oleh kaum wanita dibanyak perusahaan atau usaha
bisnis lain banyak dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya “affair”, alat
lobby dnegan alasan-alasan yang tidak
rasional.
c. Profesi
wanita sebagai foto model, artis film, artis sinetron dan peyanyi di persepsi
sebagai profesi yang tidak dapat dipisahkan dengan kebutuhan selera rendahm
berpotensi untuk kawin-cerai, hidup serba semu dan dapat dicapai hanya dengan
modal postur tubuh dan kecantikan wajah serta kesediaan mengorbankan harga
diri.
d. Wanita-wanita
yang bekerja pada usaha border, salon, bar, gedung billiard an
diskotik-diskotik lebih banyak dihubungkan dnegan aktivitas asusila daripada
sebagai usaha hidup layak.
e. Keindahan
tubuh dan kecantikan wajah kaum wanita lebih dilihat sebagai alat promosi suatu
produk untuk tujuan komersial dengan jalan mengeksploitasinya, daripada sebagai
karunia Tuhan dan potensi keindahan atau kegairahan kerja.
f. Wanita-wanita
yang meninggalkan keluarga pada jarak jauh dan kurun waktu lama hampir selalu
dinilai tidak wajar dan melanggar kodrati sebagai ibu rumah tangga.
g. Munculnya
prostitusi, free sex, kumpul kebo, pemerkosaan kebanyakan diasumsikan sebagai
kesalahan wanita tanpa memandang bahwa keberadaan tatanan itu sebagai produk
interaksi antara subjek.
h. Wanita
dnegan segala dimensinya kebanyakan dijadikan wahana atau sumber humor,
sentilan atau objek kata-kata porno, baik di masyrakat luas maupun pada
forum-forum yang diciptakan.
i.
Wanita masih dipersepsi sebagai makhluk
lemah fisik dan mental, tidak mungkin bekerja secara total karena alas an cuti
dan mengurus anak dan lain-lain.
Persepsi
keliru ini tidak hanya merugikan kaum wanita, melainkan bertentangan dnegan
nilai-nilai Pancasila, harkat dan martabat manusia, sekaligus sebagai
pencerminan masih adanya diskriminasi terhadap wanita. Kesamaan hak dan
kewajiban antara pria dan wanita di Indonesia merupakan kata lain dari
emansipasi. Gerakan emnasipasi wanita dibangkitkan oleh R.A. Kartini dan terus
menggema sampai sekarang. Wujud nyata aktualisasi “falsafah” emansipasi di
Indonesia makin Nampak terlihat, baik disektor pemerintahan, bisnis,
pendidikan, perburuhan, keluarga dan lain-lain, dan karenanya diskriminasi
terhadap wanita makin tidak dirasakan lagi. Yang menjadi masalah sekarang
adalah masih mengakarnya diskriminasi perseptual terhadap wanita yang dapat
menimbulkan dampak psikologis dan penderitaan batin wanita secara
berkepanjangan. Oleh karena itu, upaya penyamaratan harkat dan martabat wanita
dengan pria tidak hanya dalam bentuk visualisasi fisik dan proses interaksi,
melainkan dengan jalan mobilisasi kesamaan opini menuju kesamaan nilai
psikologis dan social yang abstrak adanya.
Gerakan, deklarasi atau teori dan
konsep perihal peran luas wanita yang dituangkan dalam bentuk aksi lapangan,
pernyataan verbal, media elektronik dan cetakan, makalah dan buku telah
merambah ke segala penjuru bumi, sedangkan peran luas pria dalam pembangunan
dan keseluruhan tatanan social lain jarang diungkap karena dianggap sudah jelas
adanya dan seolah-olah tidak perlu dipermasalahkan lagi. Kondisi ini memberi kesan
semu, seolah-seolah peran wanita dalam pembangunan atau tatanan social lain
masih minimal. Makin banyak publikasi perihal peran wanita seolah-olah
membangkitkan kembali citra wanita sebagai manusia kelas II. Diakui secara
sadar, bahwa factor kodrati membuat upaya menyamakan peran wanita dengan pria
secara persis adalah mustahil di daerah yang menganut matrilineal sekalipun.
Adalah mustahil wanita hamil tidak diberi cuti, dipaksa bernagkat untuk
memanggul senjata ke medan perang, ikut lomba lari membela panji Negara,
memberi contoh bagaimana salto yang baik kepada siswa-siswanya. Melahirkan,
menyusui, memelihara anak adalah kodrat wanita yang hakiki dan keunggulan itu
tidak dimiliki oleh pria.
Sumber
:
Sudarwan Danim, 1995, Transformasi
Sumber Daya Manusia, Jakarta, Bumi Aksara.
Komentar