Sakit Kepala Selama 7 Tahun
Ini adalah kisah hidup yang membuat saya aware terhadap kesehatan mental. Ini adalah pengalaman hidup yang membuat saya tidak sepele terhadap penyakit kejiwaan. Ini adalah usaha yang tidak ada akhirnya demi mempertahankan dan memperjuangkan kehidupan yang bermakna. Ini adalah secuil kesaksian yang turut membantumu menjadi lebih baik. Kehidupan yang mengagumkan adalah kehidupan yang selaras, seimbang, sadar dan bermakna.
Sekolah dari SD - SMP cukup bisa dibilang anak yang berprestasi. Tiga besar harus ditangan saya. Namun ternyata setelah pindah SMA ke kota Medan, ke sekolah yang terkenal populer, kaya, dan isinya anak-anak yang cerdas, kehidupan saya berubah 360 derajat. Hal terbodoh dan memalukan yang saya ingat sampai sekarang adalah ketika saya mencalonkan diri sebagai ketua. Goblok memang cia. Jiwa sombong dan arogansi saya berapi-api. Kenyataannya saya bukanlah seperti yang saya pikirkan. Saya ciut. Berpindah dari kampung ke kota, saya ciut. Saya paling bodoh, ranking nyaris mendekati ranking terakhir, saya lemot, saya kampungan, saya banyak gaya. Saya banyak mendaftar ekstrakurikuler, tapi pada akhirnya saya mempermalukan diri sendiri dan keluar.
Tibalah diakhir masa SMA,
Tahun 2014, saya divonis menderita sinusitis. Setelah itu, obat-obatan dan inhaler adalah teman pendamping saya setiap hari. Jujur, tidak membuat saya lebih baik ataupun mengurangi rasa sakit. Tidak. Tapi tetap saya konsumsi. Kadang saya melebihkan dosis sanking tak kuat menahan rasa sakit. Gejala yang membuat saya mau mati rasanya, sakit kepala hebat. Sakit ini membuat saya selalu overthinking.
“Kayaknya bentar lagi aku mati”
“Aku tidak kuat, pengen mati”
“Aku capek begini terus menahan sakit”
Bagaimana tidak sakit, 2014 adalah masa perjuangan saya menggapai perguruan tinggi negeri. Pulang sekolah lanjut bimbingan belajar sampai jam 10 malam. Pulang naik becak sampai dirumah masuk angin. Terkadang malah lanjut belajar lagi dirumah sampai ketiduran bersama kertas-kertas yang penuh angka. Begitu siklusnya setiap hari. Belajar, belajar, dan belajar. Saya sangat sadar, saya termasuk anak yang lemot, IQ rendah. Maka dari itu, saya harus lebih berusaha dibanding teman-teman yang lain.
Diary saya penuh oretan pesan-pesan jika saya mati. Setiap saya bilang sakit, terkesan seperti mengeluh setiap hari. Saya terkesan melebih-lebihkan sesuatu. Padahal sungguh itu benar-benar sakit yang tak tertahankan.
Beruntungnya, saya berhasil masuk PTN. Tidak sia-sia rasanya belajar sampai sakit membuahkan hasil.
Tahun 2017 sampai tahun 2018 adalah tahun yang penuh pencapaian bagi saya. Beragam prestasi saya peroleh. Saya aktif berorganisasi, saya menjuarai beberapa lomba karya tulis ilmiah dan esai. Yang paling mengesankan adalah beberapa kali berhasil lolos delegasi event nasional. Event-event yang membuat saya keliling Indonesia. Dan bangga lagi ketika masuk finalis mahasiswa berprestasi, yah meskipun tidak menang. Kemudian pemilihan duta genre Sumatera Utara, ajang pageant yang membuat mata saya terbuka tentang penampilan dan kepribadian. Sangat aktif dan sibuk.
Meski saya tetap merasa sakit kepala, tapi tidak mendominasi karena kesibukan saya.
Tahun 2019 sampai sekarang merasa fase hidup terendah. Dengan beragam pencapaian yang saya peroleh semasa kuliah ternyata tidak membawa saya kepada pekerjaan yang selaras.
Memang hidup itu up and down.
Dunia pekerjaan membuat siklus hidup yang membosankan bagi saya. Apalagi dengan datangnya pandemi covid19. Beruntungnya saya tidak di PHK. Rutinitas kerja yang begitu begitu aja, menyiksa batin saya.
Disini, sakit kepala itu mulai memberontak lagi. Sakitnya bukan kepalang. Mumpung berobat gratis, akhirnya saya memutuskan untuk berobat ke spesialis. Saya di rontgen, di CT Scan, di MRI, di fisioterapi karena sakit kepala yang luar biasa ini. Dan hasil yang sangat mengejutkan bagi saya adalah bahwa saya baik-baik saja. Tidak ada indikasi penyakit apapun. Aneh bin ajaib. Saya tidak habis pikir. Saya semakin bingung.
Pernah terlintas dibenak saya,
“Kayaknya saya diguna-guna orang pinter”
“Ini penyakit aneh”
“Jangan-jangan ini karma”
“Kayaknya saya disantet orang”
Hingga tibalah saya dirujuk ke dokter spesialis penyakit jiwa. Dokter mendiagnosa saya “depresi”. Diresep obat-obatan penenang selama berbulan-bulan, sama saja tidak mengurangi sakit kepala saya. Kalau sedang bekerja, sakit kepala saya muncul. Tapi kalau sedang main, liburan, nongkrong sama teman-teman, sakit kepalanya hilang. HAHAHA. Mungkin karna saya benci pekerjaan saya, belum berdamai dengan pekerjaan saya.
Tahun 2021, tahun yang menantang. Disini saya berjuang menyembuhkan diri sendiri. Berhasil menerbitkan 2 buku sekaligus, memberi kepuasan bagi jiwa saya. Namun tidak pada batin saya, yang tetap terluka oleh masa lalu.
Saya kembali ke dokter psikiatri,
“Dok, saya lelah begini terus merasakan sakit kepala yang tidak ada ujungnya. Kapan saya bisa sembuh seutuhnya? Sampai kapan begini terus dok?”
Saya sudah coba banyak hal, dokter menyarankan saya ikut olahraga zumba, supaya semakin aktif dan sibuk. Cukup membantu meredakan. Namun terkadang sakit itu datang lagi.
“Kamu sudah terbentuk selama 25 tahun, rasa sakitmu sudah terbentuk pula selama 25 tahun, untuk bisa sembuh tidak bisa secepat yang kamu harapkan, semua butuh proses.”
“Luka batinmu sudah tertanam sejak kecil dan itu memuncak di usia kamu sekarang ini. Efek domino namanya”
Begitulah jelas dokter..
Hidup begini amat. Saya harus berjuang membuat hidup terasa bermakna. Saya harus berjuang melawan godaan bunuh diri.
Daritadi saya memang tidak menjelaskan apa luka batin itu. Salah satunya, broken home. Kisah-kisah gelap di masa lalu yang menjadi luka batin sampai sekarang.
Di penghujung 2021, saya merasa berproses lebih baik. Dengan belajar memahami diri sendiri, dengan belajar meditasi, dengan membaca puluhan buku healing, buku self improvement, mendengar podcast, itu cukup menuntun saya. Apapun segumpal pertanyaan kehidupan, rasa sakit yang tak tahu penyebabnya, semua kebimbangan kebingungan itu saya coba cari jawabannya dengan membaca buku dan mendengar ceramah di youtube.
Saya berjuang sendiri atas pergumulan-pergumulan saya.
Berharap diskusi dengan orang lain? Tidak ada orangnya. Berharap curhat ke orang lain? Mereka tidak mengerti hal receh yang saya cemaskan. Berharap ada yang menemani keseharian agar tak terasa sepi sunyi sendiri? Orang lain punya kesibukan sendiri dan prioritas masing-masing.
Saya berusaha untuk tidak berharap pada manusia. Saya berusaha mengendalikan ekspektasi kehidupan. Saya berusaha membuat hidup yang seimbang. Saya berusaha membuat hidup saya indah, damai dan bahagia sendiri.
Tahun 2022, saya sangat bersyukur rasa sakit itu mulai berkurang. Meski kadang datang lagi. Seperti kemarin, dari siang ke malam sakitnya tidak ada berhenti. Namun saya kembali menyadari, rasa sakit ini hanya sementara. Esoknya Puji Tuhan, rasa sakit itu hilang sendiri.
Penyakit ini adalah hubungan antara fisik dan psikis. Hubungan antara pikiran dan badan. Penyakit ini termasuk dalam penyakit psikosomatis, penyakit-penyakit fisik yang berasal dari pikiran atau jiwa. Penyakit mental bisa dibilang.
Hal ini membuat saya semakin sadar bahwa semua penyakit pasti ada hubungannya dari pikiran. Ketika fisik sakit, itu adalah kode bahwa ada psikis yang sedang tidak beres. Manusia pada umumnya sulit meraih kesadaran diri. Manusia terlalu sibuk dengan hal-hal duniawi. Tidak menyadari apa yang sesungguhnya terjadi pada diri sendiri.
Manusia perlu SADAR untuk mencapai hidup yang sehat, seimbang, selaras dan bermakna.
Bagaimana caranya? Sama seperti tulisan saya sebelumnya tentang PENJARA PIKIRAN. Coba dibaca lagi.
Komentar