Berdamai dengan LINGKARAN SETAN

 

sumber foto : pixabay


              Lingkaran setan. Seram sekali kedengarannya. Entah apapun yang ada di otakmu tentang lingkaran setan. Aku mempunyai defenisi tersendiri. Bagiku, lingkaran setan dalam hidupku adalah segala sesuatu yang tidak baik, jahat, negatif, merusak, yang membuat diriku merasa rusak, tak berguna, hina, jahat, buruk bagai setan. Tidak ada manusia yang sempurna. Sebaik apapun dia pasti ada keburukan atau kelemahan yang ia miliki. Zaman kini, social media selalu memperlihatkan kesempurnaan. Dan sadarlah semuanya itu adalah semu. Namanya dunia maya, maya sama artinya tidak terlihat, dunia bayangan, dunia awang-awang. Bukan dunia yang seharusnya, yang terlihat, dunia yang semestinya ada hitam dan putih. Para motivator, influencer, para pemuka agama selalu mengajarkan kebaikan dan selalu memancarkan hal-hal baik dan positif. Kita dipaksa untuk selalu berfikir positif. Jika hal ini terasa sulit, jatuhnya pada toxic positivity. Yah jujur, aku juga selalu menebarkan konten agar selalu berfikir positif. Bahkan ada yang sampai menegurku “awas loh jadi toxic positivity”.

Aku punya kelemahan, karakter negatif yang selalu aku sembunyikan. Itulah yang kumaksud dengan lingkaran setan. Yang kuperlihatkan kepada orang-orang hanya saat aku bahagia, termotivasi dan saat diriku merasa baik. Saat aku merasa jatuh, frustasi, marah, kecewa, sakit, gagal, dan semua yang membuatku down, aku menyembunyikannya. Aku memilih untuk merasakannya dan memendamnya seorang diri. Kalau sudah tidak tahan, aku hanya menceritakannya pada orang-orang terdekatku. Namun, kehidupan berubah. Sekarang, kisah sedih dan kisah depresiku kubuat menjadi konten yang dikonsumsi banyak orang. Aku menerbitkan buku pertamaku yang menceritakan sisi depresiku. Semuanya tentang aib dan beberapa konten positif yang terpaksa harus aku tulis. Pada youtube channelku, aku mulai berani mengatakan bahwa aku sedang depresi. Pada akun instagramku juga demikian. Namun tak banyak ‘reactions’. Who care’s?

Semua itu adalah sebuah perjalanan. Tidak harus menjadi orang yang hebat untuk memulai sebuah perjalanan. Tapi harus berani mengambil langkah pertama dan memulai menjadi orang hebat. Tidak mengapa masih banyak karakter buruk, perilaku tidak terpuji, kegagalan, atau banyak hal yang belum diketahui/dipelajari. Semua itu adalah proses. Ini bukan sebuah pembenaran dalam perilaku buruk. Ini adalah perjalanan. Itulah hidup. Penerimaan diri terhadap pengalaman negatif merupakan sebuah pengalaman positif.

Setelah menerbitkan buku ‘Jalan Bahagia’ aku justru malu dengan karya itu. Karena menceritakan tentang diri sendiri yang mengejar kebahagiaan. Kau tidak akan menemukan kebahagiaan pada buku itu. Itu adalah tentang prosesku, proses pahitku menjadi dewasa. Dan bahkan sampai sekarang pun masih berjuang untuk dewasa. Semakin mati-matian aku ingin bahagia dan dicintai, aku justru menjadi semakin kesepian. Semakin aku berusaha mendapat pencerahan spiritual, aku justru semakin tertelan oleh diri sendiri oleh semua lingkaran setan dan menjadi semakin jauh rasanya untuk dapat mencapainya. Semakin aku berusaha untuk menggapai mimpi menjadi seorang therapist, luka batin dan luka lamaku semakin muncul terus-menerus menghantuiku. Ketika semuanya semakin, semakin, dan semakin, semuanya menjadi terasa menyakitkan. Seperti yang dikatakan Albert Camus, filsuf eksistensialisme, “Anda tidak akan pernah bahagia jika Anda terus mencari apa yang terkandung di dalam kebahagiaan. Anda tidak akan pernah hidup jika terus encari arti kehidupan.” Maka benarlah kata Mark Manson dalam bukunya ‘sebuah seni bersikap bodo amat’ yang berarti JANGAN BERUSAHA.

Saat sakit kemarin selama beberapa hari, aku memilih untuk tidak mencari perhatian di social media. Malah aku menonaktifkan beberapa akun sosmed. Aku merasa seperti menghilang dari dunia maya. Aku juga tidak menghubungi beberapa orang yang kusayang termasuk orang tuaku. Aku khawatir kalau mereka justru bertanya-tanya kalau mendengar suara bindeng ku karena pilek. Sakitku adalah karena sedang stres dan kacau. Saat itu pikiranku sedang tidak baik. Tapi aku memilih diam. Saat terasa semakin sakit, aku memilih menangis meluapkannya. Beberapa saat setelah menangis memang menenangkan namun perasaan hancur hadir kemudian dalam seketika. Aku berusaha keras untuk menerima penderitaan ini namun rasanya selalu gagal. Penderitaan yang dibuat oleh pikiran sendiri. Penderitaan yang tertanam di dalam lingkaran setan otakku. Sekali lagi, menjadi dewasa memang menyakitkan.

 

Berusaha menghindari rasa sakit sama halnya dengan terus menerus berada dalam rasa sakit itu sendiri. Seperti kata therapist kebanyakan, terimalah dan biarkan lepas secara alami. Mungkin dengan kata lain, bersikap bodo amat lah dengan rasa sakit itu. Biarkan lepas dan pergi begitu saja, dan akhirnya justru berhasil.

Sepanjang hidup, aku terlalu memberikan banyak perhatian untuk situasi yang sebenarnya tidak layak diperdulikan. Makanya di tempatku bekerja, teman-teman selalu mengatakan padaku “Ciaa jangan mikir” ketika aku mulai berpendapat tentang sesuatu hal. Mereka tahu aku tipe pemikir dan itu justru membuatku stres. Tingkat baper dan ekspektasi ku terhadap diriku sendiri sangat luar biasa tinggi. Aku terlalu mengidam-idamkan kesuksesaan yang kubentuk sendiri, sehingga ambisi itu membuatmu selalu menderita. Lingkaran setanku salah satunya ialah ambisiku. Ambisi untuk diakui hebat, cerdas, dan dikagumi oleh orang banyak. Dalam hal percintaan pun begitu, lingkaran setan untuk terus diperhatikan, dimengerti, dipahami. Inginku maunya selalu dikabulkan. Begitu egois. Aku menjadi risau kalau doi tidak berkabar dalam sehari. Aku menjadi kecewa ketika tidak banyak likes, subscriber, views pada semua kontenku. Aku menjadi iri ketika aku melihat orang lain begitu cantik dan sukses. Aku menjadi ingin pergi liburan jika melihat orang lain pergi liburan. Terlalu gusar jika sehari tak keluar rumah/kamar. Aku terlalu memedulikan banyak hal dan setiap orang tanpa pertimbangan atau pilihan yang matang. Hidup menjadi kacau.

Ini adalah sebuah penyakit. Penyakit mental. Yang perlahan menelanku hidup-hidup. Dan akibatnya aku menjadi depresi. Selemah itu, ahh! Menjadi sulit bahagia karena neraka pikiran sendiri, dalam lingkaran setan sendiri.

Terlalu berbahaya. Bisa dibilang aku menciptakan masalah hidupku sendiri. Karena sebetulnya aku tidak memiliki masalah yang konkret. Terlalu berlebihan memberikan perhatian untuk hal sepele yang membuat gusar.

Aku sadar akan semua yang ku rasakan, ku perbuat. Tapi rasanya sulit dalam mengendalikan diri. Pelan-pelan belajar dalam proses yang menyakitkan. Belajar untuk lebih selektif terhadap sesuatu yang kita perhatikan terhadap orang lain yang kita pedulikan. Dengan mengalami kesakitan secara fisiologis karena psikis, aku pikir habis sudah energiku untuk memikirkan hal-hal yang tidak begitu penting. Segala aktivitas yang kuanggap membanggakan, ternyata selama ini keliru. Kini pelan-pelan, tidak lagi perduli terhadap setiap hal yang membuang-buang waktu dan menyusahkan diri. Hidup berjalan apa adanya. Aku menulis tanpa memerdulikan berapa orang yang membaca tulisanku diblog, yang penting konsisten. Aku mulai membuat rencana menulis buku lagi tanpa memerdulikan buku ini terbit atau tidak yang penting aku konsisten menulis naskah. Aku membuat konten lagi di youtube tanpa memerdulikan berapa yang subscribe berapa viewnya yang penting aku konsisten membuat konten setiap minggunya. Mungkin saja hasilnya bukan sekarang. Bisa saja setahun kedepan, 5 tahun kedepan atau bahkan 10 tahun kedepan. Dan itu tidak menjadi masalah. Jalani saja hidup.

Lingkaran setanku jauh lebih menyeramkan daripada yang aku tulis. Ada bagian yang akan membuat kalian kecewa. Sangat memalukan. Tapi itulah aku. Setiap orang punya bagian hidup yang hitam, putih, bahkan abu-abu. Ini tidak pembenaran. Aku masih sedang berusaha memperbaikinya. Itu sama sekali tidak menyenangkan.

Saat ini belum sepenuhnya berdamai dengan lingkaran setan. Namun sedang memperjuangkannya. Bagaimana cara mengubah rasa sakit, penderitaan, kegagalan, kepedihan, kerugian, penyesalan, menjadi sebuah kekuatan untuk bertumbuh. Untuk perubahan yang menginspirasi. Penderitaan memang menyebalkan. Tapi tanpa itu, kita tidak akan mempunyai gairah untuk bertindak merubah sesuatu. Penderitaan akan bernilai jika kita bisa bangkit. Jangan kaget, penderitaan bisa mengubah kita menjadi sampah. Bisa pula mengubah kita menjadi bintang, superstar. Tergantung kemudinya.

Ketika aku melihat berita bahwa artis Nia Ramadhani dan suaminya, pengusaha besar Ardie Bakrie tertangkap saat penggunaan narkoba, aku semakin sadar bahwa hidup itu sendiri adalah suatu bentuk penderitaan. Orang kaya menderita karena kekayaannya. Orang terkenal menderita karena kepopulerannya. Orang miskin menderita karena kemiskinannya. Tentu, menghasilkan banyak uang membuat kamu merasa senang, menjadi seorang influencer atau artis papan atas membuat kamu merasa dikagumi, namun itu tidak akan otomatis membuat seseorang mencintaimu dengan tulus/setia, itu tidak otomatis membuat anak-anakmu/saudaramu mencintaimu. Upaya untuk membuat orang lain agar terkesan akan semakin sia-sia.

Penderitaan fisik yang aku alami karena efek stres menjadi sebuah alasan yang kuat bagiku untuk bertumbuh. Semacam memberi kode, “Come on Ciaa, kau sudah dihukum karena terlalu memikirkan hal yang tidak penting dalam hidupmu, kau sudah terlalu lama bertahan dalam lingkaran setan itu. Kau harus berhenti dan mulailah hidup yang baru tanpa itu.” Seakan aku didorong untuk lebih memperhatikannya dan tidak pernah melakukannya lagi.

Bertumbuh menjadi dewasa harus menetapkan batasan. Mengejar kenikmatan duniawi tidak selalu berguna, hanya karena kesenangan sementara. Rasa sakit memberikan pelajaran kepada apa yang harus kita prioritaskan dalam hidup. Penderitaan karena percintaan belum seberapa sakitnya daripada kematian orangtua. Penderitaan tidak bisa menonton Netflix karena jaringan wifi mati belum seberapa dibanding orang-orang di luar sana yang tidak bisa makan karena kemiskinan. Aku berterimakasih pada rasa sakit emosional atau psikis itu. Semakin menyehatkan. Memberikan kesadaran untuk hidup lebih waras. Penderitaan, penolakan, kegagalan mengajarkan bagaimana cara mencegah kesalahan yang sama di masa depan.

Waktu berlalu, justru malah berharap agar hidup penuh dengan masalah-masalah yang baik. Itulah proses pendewasaan. Tak lagi diribetkan dengan masalah-masalah. Justru berteman dengan masalah. Tidak lagi kaget akan hadirnya penderitaan. Begitulah kehidupan. Tenanglah berproses.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ringkasan Buku “Mindset” Karya Carol S. Dweck

SINOPSIS BUKU SEGALA-GALANYA AMBYAR KARYA MARK MANSON