Berdamai dengan LINGKARAN SETAN
Lingkaran setan.
Seram sekali kedengarannya. Entah apapun yang ada di otakmu tentang lingkaran
setan. Aku mempunyai defenisi tersendiri. Bagiku, lingkaran setan dalam hidupku
adalah segala sesuatu yang tidak baik, jahat, negatif, merusak, yang membuat diriku
merasa rusak, tak berguna, hina, jahat, buruk bagai setan. Tidak ada manusia
yang sempurna. Sebaik apapun dia pasti ada keburukan atau kelemahan yang ia
miliki. Zaman kini, social media selalu memperlihatkan kesempurnaan. Dan sadarlah
semuanya itu adalah semu. Namanya dunia maya, maya sama artinya tidak terlihat,
dunia bayangan, dunia awang-awang. Bukan dunia yang seharusnya, yang terlihat,
dunia yang semestinya ada hitam dan putih. Para motivator, influencer, para
pemuka agama selalu mengajarkan kebaikan dan selalu memancarkan hal-hal baik
dan positif. Kita dipaksa untuk selalu berfikir positif. Jika hal ini terasa
sulit, jatuhnya pada toxic positivity. Yah jujur, aku juga selalu menebarkan
konten agar selalu berfikir positif. Bahkan ada yang sampai menegurku “awas loh
jadi toxic positivity”.
Aku punya kelemahan, karakter negatif yang selalu aku sembunyikan.
Itulah yang kumaksud dengan lingkaran setan. Yang kuperlihatkan kepada
orang-orang hanya saat aku bahagia, termotivasi dan saat diriku merasa baik. Saat
aku merasa jatuh, frustasi, marah, kecewa, sakit, gagal, dan semua yang
membuatku down, aku menyembunyikannya. Aku memilih untuk merasakannya dan
memendamnya seorang diri. Kalau sudah tidak tahan, aku hanya menceritakannya
pada orang-orang terdekatku. Namun, kehidupan berubah. Sekarang, kisah sedih
dan kisah depresiku kubuat menjadi konten yang dikonsumsi banyak orang. Aku menerbitkan
buku pertamaku yang menceritakan sisi depresiku. Semuanya tentang aib dan
beberapa konten positif yang terpaksa harus aku tulis. Pada youtube channelku,
aku mulai berani mengatakan bahwa aku sedang depresi. Pada akun instagramku
juga demikian. Namun tak banyak ‘reactions’. Who care’s?
Semua itu adalah sebuah perjalanan. Tidak harus menjadi orang
yang hebat untuk memulai sebuah perjalanan. Tapi harus berani mengambil langkah
pertama dan memulai menjadi orang hebat. Tidak mengapa masih banyak karakter
buruk, perilaku tidak terpuji, kegagalan, atau banyak hal yang belum
diketahui/dipelajari. Semua itu adalah proses. Ini bukan sebuah pembenaran
dalam perilaku buruk. Ini adalah perjalanan. Itulah hidup. Penerimaan diri
terhadap pengalaman negatif merupakan sebuah pengalaman positif.
Setelah menerbitkan buku ‘Jalan Bahagia’ aku justru malu
dengan karya itu. Karena menceritakan tentang diri sendiri yang mengejar
kebahagiaan. Kau tidak akan menemukan kebahagiaan pada buku itu. Itu adalah
tentang prosesku, proses pahitku menjadi dewasa. Dan bahkan sampai sekarang pun
masih berjuang untuk dewasa. Semakin mati-matian aku ingin bahagia dan
dicintai, aku justru menjadi semakin kesepian. Semakin aku berusaha mendapat pencerahan
spiritual, aku justru semakin tertelan oleh diri sendiri oleh semua lingkaran
setan dan menjadi semakin jauh rasanya untuk dapat mencapainya. Semakin aku berusaha
untuk menggapai mimpi menjadi seorang therapist, luka batin dan luka lamaku
semakin muncul terus-menerus menghantuiku. Ketika semuanya semakin, semakin,
dan semakin, semuanya menjadi terasa menyakitkan. Seperti yang dikatakan Albert
Camus, filsuf eksistensialisme, “Anda tidak akan pernah bahagia jika Anda terus
mencari apa yang terkandung di dalam kebahagiaan. Anda tidak akan pernah hidup
jika terus encari arti kehidupan.” Maka benarlah kata Mark Manson dalam bukunya
‘sebuah seni bersikap bodo amat’ yang berarti JANGAN BERUSAHA.
Saat sakit kemarin selama beberapa hari, aku memilih untuk
tidak mencari perhatian di social media. Malah aku menonaktifkan beberapa akun
sosmed. Aku merasa seperti menghilang dari dunia maya. Aku juga tidak menghubungi
beberapa orang yang kusayang termasuk orang tuaku. Aku khawatir kalau mereka
justru bertanya-tanya kalau mendengar suara bindeng ku karena pilek. Sakitku adalah
karena sedang stres dan kacau. Saat itu pikiranku sedang tidak baik. Tapi aku
memilih diam. Saat terasa semakin sakit, aku memilih menangis meluapkannya. Beberapa
saat setelah menangis memang menenangkan namun perasaan hancur hadir kemudian
dalam seketika. Aku berusaha keras untuk menerima penderitaan ini namun rasanya
selalu gagal. Penderitaan yang dibuat oleh pikiran sendiri. Penderitaan yang
tertanam di dalam lingkaran setan otakku. Sekali lagi, menjadi dewasa memang
menyakitkan.
Berusaha menghindari rasa sakit sama halnya dengan terus
menerus berada dalam rasa sakit itu sendiri. Seperti kata therapist kebanyakan,
terimalah dan biarkan lepas secara alami. Mungkin dengan kata lain, bersikap
bodo amat lah dengan rasa sakit itu. Biarkan lepas dan pergi begitu saja, dan
akhirnya justru berhasil.
Sepanjang hidup, aku terlalu memberikan banyak perhatian
untuk situasi yang sebenarnya tidak layak diperdulikan. Makanya di tempatku
bekerja, teman-teman selalu mengatakan padaku “Ciaa jangan mikir” ketika aku
mulai berpendapat tentang sesuatu hal. Mereka tahu aku tipe pemikir dan itu
justru membuatku stres. Tingkat baper dan ekspektasi ku terhadap diriku sendiri
sangat luar biasa tinggi. Aku terlalu mengidam-idamkan kesuksesaan yang
kubentuk sendiri, sehingga ambisi itu membuatmu selalu menderita. Lingkaran setanku
salah satunya ialah ambisiku. Ambisi untuk diakui hebat, cerdas, dan dikagumi
oleh orang banyak. Dalam hal percintaan pun begitu, lingkaran setan untuk terus
diperhatikan, dimengerti, dipahami. Inginku maunya selalu dikabulkan. Begitu egois.
Aku menjadi risau kalau doi tidak berkabar dalam sehari. Aku menjadi kecewa
ketika tidak banyak likes, subscriber, views pada semua kontenku. Aku menjadi
iri ketika aku melihat orang lain begitu cantik dan sukses. Aku menjadi ingin
pergi liburan jika melihat orang lain pergi liburan. Terlalu gusar jika sehari
tak keluar rumah/kamar. Aku terlalu memedulikan banyak hal dan setiap orang tanpa
pertimbangan atau pilihan yang matang. Hidup menjadi kacau.
Ini adalah sebuah penyakit. Penyakit mental. Yang perlahan
menelanku hidup-hidup. Dan akibatnya aku menjadi depresi. Selemah itu, ahh! Menjadi
sulit bahagia karena neraka pikiran sendiri, dalam lingkaran setan sendiri.
Terlalu berbahaya. Bisa dibilang aku menciptakan masalah hidupku
sendiri. Karena sebetulnya aku tidak memiliki masalah yang konkret. Terlalu berlebihan
memberikan perhatian untuk hal sepele yang membuat gusar.
Aku sadar akan semua yang ku rasakan, ku perbuat. Tapi rasanya
sulit dalam mengendalikan diri. Pelan-pelan belajar dalam proses yang
menyakitkan. Belajar untuk lebih selektif terhadap sesuatu yang kita perhatikan
terhadap orang lain yang kita pedulikan. Dengan mengalami kesakitan secara
fisiologis karena psikis, aku pikir habis sudah energiku untuk memikirkan hal-hal
yang tidak begitu penting. Segala aktivitas yang kuanggap membanggakan,
ternyata selama ini keliru. Kini pelan-pelan, tidak lagi perduli terhadap
setiap hal yang membuang-buang waktu dan menyusahkan diri. Hidup berjalan apa
adanya. Aku menulis tanpa memerdulikan berapa orang yang membaca tulisanku diblog,
yang penting konsisten. Aku mulai membuat rencana menulis buku lagi tanpa memerdulikan
buku ini terbit atau tidak yang penting aku konsisten menulis naskah. Aku membuat
konten lagi di youtube tanpa memerdulikan berapa yang subscribe berapa viewnya
yang penting aku konsisten membuat konten setiap minggunya. Mungkin saja
hasilnya bukan sekarang. Bisa saja setahun kedepan, 5 tahun kedepan atau bahkan
10 tahun kedepan. Dan itu tidak menjadi masalah. Jalani saja hidup.
Lingkaran setanku jauh lebih menyeramkan daripada yang aku tulis.
Ada bagian yang akan membuat kalian kecewa. Sangat memalukan. Tapi itulah aku. Setiap
orang punya bagian hidup yang hitam, putih, bahkan abu-abu. Ini tidak
pembenaran. Aku masih sedang berusaha memperbaikinya. Itu sama sekali tidak
menyenangkan.
Saat ini belum sepenuhnya berdamai dengan lingkaran setan. Namun
sedang memperjuangkannya. Bagaimana cara mengubah rasa sakit, penderitaan,
kegagalan, kepedihan, kerugian, penyesalan, menjadi sebuah kekuatan untuk
bertumbuh. Untuk perubahan yang menginspirasi. Penderitaan memang menyebalkan. Tapi
tanpa itu, kita tidak akan mempunyai gairah untuk bertindak merubah sesuatu. Penderitaan
akan bernilai jika kita bisa bangkit. Jangan kaget, penderitaan bisa mengubah
kita menjadi sampah. Bisa pula mengubah kita menjadi bintang, superstar. Tergantung
kemudinya.
Ketika aku melihat berita bahwa artis Nia Ramadhani dan suaminya,
pengusaha besar Ardie Bakrie tertangkap saat penggunaan narkoba, aku semakin
sadar bahwa hidup itu sendiri adalah suatu bentuk penderitaan. Orang kaya menderita
karena kekayaannya. Orang terkenal menderita karena kepopulerannya. Orang miskin
menderita karena kemiskinannya. Tentu, menghasilkan banyak uang membuat kamu
merasa senang, menjadi seorang influencer atau artis papan atas membuat kamu merasa
dikagumi, namun itu tidak akan otomatis membuat seseorang mencintaimu dengan
tulus/setia, itu tidak otomatis membuat anak-anakmu/saudaramu mencintaimu. Upaya
untuk membuat orang lain agar terkesan akan semakin sia-sia.
Penderitaan fisik yang aku alami karena efek stres menjadi
sebuah alasan yang kuat bagiku untuk bertumbuh. Semacam memberi kode, “Come on Ciaa,
kau sudah dihukum karena terlalu memikirkan hal yang tidak penting dalam
hidupmu, kau sudah terlalu lama bertahan dalam lingkaran setan itu. Kau harus
berhenti dan mulailah hidup yang baru tanpa itu.” Seakan aku didorong untuk
lebih memperhatikannya dan tidak pernah melakukannya lagi.
Bertumbuh menjadi dewasa harus menetapkan batasan. Mengejar kenikmatan
duniawi tidak selalu berguna, hanya karena kesenangan sementara. Rasa sakit
memberikan pelajaran kepada apa yang harus kita prioritaskan dalam hidup. Penderitaan
karena percintaan belum seberapa sakitnya daripada kematian orangtua. Penderitaan
tidak bisa menonton Netflix karena jaringan wifi mati belum seberapa dibanding
orang-orang di luar sana yang tidak bisa makan karena kemiskinan. Aku berterimakasih
pada rasa sakit emosional atau psikis itu. Semakin menyehatkan. Memberikan kesadaran
untuk hidup lebih waras. Penderitaan, penolakan, kegagalan mengajarkan
bagaimana cara mencegah kesalahan yang sama di masa depan.
Waktu berlalu, justru malah berharap agar hidup penuh dengan
masalah-masalah yang baik. Itulah proses pendewasaan. Tak lagi diribetkan
dengan masalah-masalah. Justru berteman dengan masalah. Tidak lagi kaget akan hadirnya
penderitaan. Begitulah kehidupan. Tenanglah berproses.
Komentar