Saat Hidup Terasa Sia-sia
Semua orang ingin hidup dengan layak. Bekerja siang dan malam agar tidak kekurangan, tapi ada akhirnya selalu ada ketidak puasan. Mengapa? Mungkin kita lupa untuk menjalani hidup dengan baik.
Saya sedang merasakan hidup yang sia-sia.
Mungkin tulisan ini adalah curhatan pribadi saya, sekaligus kegelisahan saya, ketidakbermaknaan hidup saya atau bahkan kehilangan arah hidup.
Ekspektasi.
Kata ini selalu bahan masalah pada pikiran saya.
Saya telah berhasil menerbitkan 2 buku. Orang-orang akan menganggap saya hebat, cerdas dan kaya karena prestasi itu.
Ekspektasi itu seolah-olah menjadi beban pikiran dan beban tanggungjawab bagi saya.
Kaya?
Nyatanya tidak. Dengan menerbitkan buku, saya harus mengeluarkan duit jutaan rupiah. Bukan gratis, kawan. Bukan justru saya mendapat royalti, bukan. Saya membayar ke penerbit agar tulisan saya dibukukan, saya membayar agar buku saya dicetak dan dijual ke kalian yang mau membelinya. Itupun kalau ada yang beli. Saya berusaha keras menjualnya secara pribadi. Seorang penulis menjual bukunya sendiri menawarkan bukunya sendiri, haha. Dan tidak jarang kalian memintanya secara gratis. Dan tidak sedikit yang memesan tapi belum membayarnya, haha. Tak apa, saya sudah ikhlas dengan itu. Namanya penulis pemula.
Tapi sedihnya saya, sudah saya berikan gratis ke kalian tapi buku itu hanya sekedar kalian simpan di lemari kalian, hanya sekedar disimpan di bawah kasur kalian tanpa membacanya. Saya sangat berharap kritikan kalian setelah membacanya, padahal. Kalau kalian membelinya dan merobeknya, menyimpannya entah dimana tanpa membaca, menginjaknya, membuatnya jadi bantalan tidur kalian, tak apa, itu kalian membuang duitmu secara percuma. Saya tidak kecewa dengan itu. Tapi kalau saya berikan gratis tapi kalian pergunakan dengan tidak semestinya, saya kecewa.
Itu satu,
Kedua, saudara kandung saya mengira saya berhasil mendapat keuntungan jutaan rupiah dari menerbitkan buku. Setelah saya bercerita, ia kaget. "Lebih baik kamu menjual ikan teri saja, ada untungnya. Daripada menulis yang justru membuat buntung, hentikan saja menulismu itu", katanya.
Miris?
Saya menulis untuk kepuasan jiwa bukan untuk kekayaan. Tapi sejujurnya saya berharap juga jika menulis adalah benar-benar passion, lebih baik jika menghasilkan.
Kayaknya saya terlihat labil.
Tapi untuk apa sih kaya kalau tidak bahagia?
Sepertinya saya percuma menulis buku jalan bahagia, pada kenyatannya hidup saya jauh dari kata bahagia.
Ya, terkadang bahagia terkadang sedih. Normal dan wajar saja. Namanya hidup pasti ada hitam dan putih, ada gelap dan terang. Itulah hidup.
Ketiga, setelah puas menerbitkan 2 buku. Lalu sekarang apalagi? Apa yang harus saya lakukan? Apalagi yang mau saya capai?
Ketidakpuasan yang tak ada habisnya.
Ambisi yang tak ada ujungnya.
Saya lelah.
Saya lelah bergulat dengan diri saya sendiri.
Saya lelah memikirkan apa yang harus saya lakukan.
Saya lelah mencari arti hidup yang sesungguhnya.
Saya lelah berfikir, berfikir dan terus berfikir.
Saya mencoba belajar filsafat dengan membaca buku, dengan menonton film filaafat, dengan menonton youtube tentang filsafat. Semakin saya mencari hakekat kehidupan ini, semakin buyar pikiran saya. Semakin mencari jawaban, semakin bingung. Filsafat ternyata tidak memberikan jawaban yang sesungguhnya. Saya baru sadar, itu menimbulkan kekecewaan bagi saya.
Untuk apa saya hidup yang ujungnya saya bakal mati?
Untuk apa lelah mengejar karya, prestasi, kekayaan, kedudukan, popularitas, segala hal duniawi?
Untuk apa lelah mencari segala sesuatu di bawah terik matahari?
Segala sesuatu percuma dan sia-sia.
Ujungnya kematian.
Cerita Socrates yang bunuh diri, membuat saya tidak takut dengan kematian.
Cerita Kierkegaard yang menolak menikah dengan pasangannya, membuat saya hubungan asmara adalah sebuah kesia-siaan.
Segala aktivitas menjadi sia-sia dan tidak bermakna, kosong, hampa.
Kenikmatan bercinta, melakukan hubungan seksual, masturbasi adalah kenikmatan sesaat, sementara.
Setelah itu, kembali pada kesia-siaan, kekosongan.
Untuk apa kita lelah berkarya agar dipandang baik, dipandang cerdas, dipandang berintelektual, agar dihargai?
Untuk apa kita berpakaian dengan sopan, dengan tertutup, dengan indah agar dicintai agar dianggap alim?
Takutkah dibenci? Takutkah dianggap bodoh? Takutkah dianggap binal? Takutkah dianggap tidak berguna?
Semuanya adalah kesia-siaan hidup
Untuk apa hidup?
Kita hanya penziarahan di bumi ini, kita hanya dititipkan sementara di bumi ini. Tugas kita melayani dan berbuat baik kepada sesama, agar kelak kita masuk surga.
Kata mereka yang beragama, yang beriman.
Emang surga itu seperti apa?
Kalau hidup hanya tujuannya untuk masuk surga maka kau berbuat baik. Apa itu tidak ikhlas namanya?
Ibarat membayar atau melalukan untuk mendapat sesuatu.
Siapa yang sudah pernah melihat surga dan neraka yang sesungguhnya?
Berbahagialah yang percaya namun tidak melihat, kata Alkitab.
Kalian bisa ngecap saya sedang krisis iman.
Saya tidak tahu mengapa, semua datang dan terjadi begitu saja.
Saya tidak selera berbuat apa-apa. Bahkan makan pun saya tidak semenggairahkan dulu. Makan, menjadi suatu yang tidak nikmat lagi. Kadang saya makan terpaksa supaya tidak sakit perut saja.
Saya bingung tujuan hidup saya apa. Semuanya terlihat sia-sia.
"Hidup hanya sekali. Jangan menua tanpa karya dan inspirasi"
Dulu itu prinsip hidup saya,
Tapi sekarang saya lelah mengejar semua keduniawian itu.
Ketidakpuasan itu membuat saya berhenti mengejar segala sesuatu yang ujungnya sia-sia.
Lebih baik menjadi orang biasa saja, duduk diam sambil membaca buku filsafat, mencari ketidakpastian dan melakukan kesia-siaan.
Saya berhenti mengejar ambisi yang tak ada habisnya.
Komentar