Pacaran tidak mengobati rasa kesepian
Sebelumnya saya pernah menulis diblog saya berjudul "kesepian yang membunuh". Tentu, dimuat karena ada cerita tentang rasa kekosongan, hampa, gelisah dan kesepian. Saya pikir dia sedang membutuhkan sosok yang selalu ada menemaninya. Namun, semesta memberi makna dari sebuah jejak perjalanan. Memberi jawaban yang ditemani rintangan lika-liku.
"cinta seharusnya tak menyakiti, tapi membuat hidup lebih bahagia dan berarti."
"cinta yang seharusnya memahami perbedaan, menyatukan harapan "
"cinta tak seharusnya pudar oleh rasa bosan. Harusnya tak surut meski terpisah oleh ruang dan waktu."
"cinta seharusnya membuat hidup lebih termotivasi, lebih kuat, berwarna dan bergairah."
Manifestasi akan cinta yang seharusnya tak sepenuhnya benar dan tak sepenuhnya salah. Cinta tak pernah salah. Persepsi bisa salah.
Namun apa jadinya jika kita menggantungkan kebahagiaan pada pasangan?
Namun apa jadinya jika kita memilih pacaran sebagai obat penangkal rasa sepi dan hampa?
Saat memiliki seorang kekasih, hidup memang terasa lebih indah, penuh warna. Setiap hari menjadi hari terbaik saat bersamanya. Menciptakan sebuah kebiasaan yang baru dan indah. Hingga terjalin kenyamanan.
Kebiasaan yang berbeda jauh sebelum memilikinya. Dan ternyata perasaan menggebu-gebu tersebut bisa kadaluarsa, tercipta sebagai epilog semata. Sebagai permulaan.
Nampaknya sangat sulit mengabadikan keadaan agar selalu sama dan utuh setiap hari.
Hubungan akan selalu terasa manis diawal, kata mereka dan menjadi kenyataan.
Ketika tidak ada dia, merasa hampa.
Ketika tidak ada kabar darinya, dipenuhi rasa curiga dan gelisah.
Dikelabui perasaan ingin selalu bertemu.
Ketika tidak ada dia, kecewa dan sedih berlebihan. Hidup menjadi tidak bergairah. Tidak ada semangat melakukan apapun. Hanya menunggu kabarnya. Hingga berujung pada kesepian yang semakin kronis.
Apakah kita bisa menyalahkan dia?
Apakah kita bisa menyalahkan cinta?
Ekspektasi sebagai obat penangkal rasa sepi itupun hancur seketika. Malah kian menyakitkan ketika segalanya terjadi tidak sesuai dengan yang kita harapkan.
Ini bukan tentang patah hati.
Dia berubah. Mengubah kebiasaan.
Hal itu menimbulkan perilaku negatif dan destruktif. Hanya akan bahagia jika ia ada. Tidak ada orang lain yang bisa menghentikan perasaanmu. Bahkan sahabatmu yang memberi penghiburan hanya bersifat sementara. Hanya memikirkan dia, dia, dan dia. Dan akhirnya kita menjadi tidak fokus pada cita-cita. Merasa terganggu. Pikiran menjadi kacau. Menjadi pribadi yang lemah dan mudah galau. Menjadi tidak realistis. Hubungan menjadi tidak sehat.
Lalu perasaan apa ini?
Apakah secara tidak sadar keterikatan pada kekasih semakin lama berubah menjadi ketergantungan?
Apakah karena cinta yang berlebihan?
Apakah karena terlalu menggantungkan harapan yang besar padanya?
Yaa. Saya juga yakin kita sepakat case ini bisa dinamakan bucin dan cinta yang buta.
Kita menjalin hubungan ketika merasa orang tersebut bisa mengisi kekosongan diri. Kita menjadi sulit berdiri sendiri. Merasa tidak bisa sendiri tanpa dia. Terlalu sayang karena kebaikannya. Kita merasa kurang utuh dengan diri sendiri sendiri dan merasa sempurna jika dengannya.
Sudah ketemu akar permasalahannya?
Iyap, jawabannya ada pada diri sendiri. Pada pikiran dan persepsi. Kurangnya mencintai diri sendiri. Kurangnya kesadaran akan penerimaan diri.
Solusinya juga pada pikiranmu sendiri. Hilangkan perasaan-perasaan negatif itu.
Sadar...
Sadar bahwa situasi bisa saja berubah
Sadar bahwa semua ada porsinya
Sadar bahwa semua hubungan ada naik turunnya
Sadar bahwa kita bisa menciptakan kebahagiaan dengan cara kita sendiri
Berhenti...
Berhenti menaruh harapan besar pada pasangan
Berhenti mengejar kebahagiaan
Berhenti menghilangkan rasa sepi dalam hidup
Mungkin terlihat konyol jika ada yang hancur karena pacaran. Namun siapa sangka jika hal itu terjadi pada diri kita sendiri?
Patah hati sekalipun mampu melukai tubuh. Tak terlihat namun mampu mematikan tubuh dengan kesakitan psikologis.
Itu menjadi salah satu alasan hadirnya psikolog dan psikiater.
Sebenarnya, tidak salah berpacaran. Tidak salah terikat pada pasangan, toh tujuan akhirnya menuju pada pernikahan. Namun terikatlah dengan sewajarnya.
Cobalah berfikir positif dan hilangkan berbagai macam prasangka.
Cobalah merenung dan jernihkan pikiran sejenak.
Cobalah nikmati kesepian dan kesendirian tersebut.
Rancang kembali harapan dan cita-citamu yang belum terwujud.
Ada banyak hal yang lebih penting daripada itu.
Lakukan hal produktif.
Bertemanlah dengan rasa sepi. Jangan menghindarinya. Kesepian bisa membunuh tapi semua berawal dari pikiranmu yang dihantui rasa sepi.
Sadarlah bahwa sepi itu adalah hal yang wajar
Semua orang bahkan merasakannya
Kamu tidak sendirian.
KENDALIKAN PIKIRANMU
SAYANGI TUBUHMU
Ini memang tidak semudah mengatakannya. Butuh proses dan latihan. Hari ini bisa saja sembuh. Besok bisa terluka oleh rasa sepi. Lusa bisa saja sembuh lagi. Begitu siklusnya.
Terus berusaha menjaga keutuhan pikiran, kalau perlu cari sesuatu diluar yang membuatmu berpaling dari prasangka. Bertemu teman dan sahabat, misalnya.
KAMU LAYAK BAHAGIA
Jadi gimana, masih takut menghadapi kesepian?
Atau takut jomblo?
😅
Komentar